Rumus toleransi dan kerukunan ummat beragama itu mudah, kok: JANGAN mancing-mancing mayoritas melulu.
Baru kemarin kasus sampul al-Qur'an yang dijadikan terompet memancing keresahan ummat Islam, kini muncul lagi "provokasi" berikutnya.
Sajadah dijadikan alas untuk diinjak-injak oleh penari yang memamerkan ketiaknya pada peringatan Hari Amal Bakti ke-70 di halaman Kantor Kanwil DKI Jakarta Kementrian Agama, Ahad 3 Januari 2016.
Sebagian "pahlawan tololransi" mungkin saja akan mengatakan: "Ahh...itukan hanya karpet. Dicuci juga bersih dan suci kembali. Toh dulu di zaman nabi, seorang arab badui pernah kencing di masjid, dan nabi hanya menyuruh menyiramnya dengan air. Beres."
BUKAN....ini bukan sekedar persoalan fiqh Bab Thoharoh.
Cobalah JUJUR. Kita ini adalah makhluk simbol. Kita pasti tersinggung ketika simbol-simbol kita dilecehkan.
Coba injak foto Jokowi. (Bukan nyuruh, loh ya...).
Besok subuh anda siap-siap dijemput oleh satu kompi pasukan pihak berwajib karena dianggap melecehkan simbol negara. (Meski menurut pasal 36A UUD'45 yang dimaksud lambang/simbol negara adalah Garuda Pancasila, bukan foto presiden).
Padahal setelah fotonya diinjak, lalu kita bersihkan..kan jadi bersih kembali. Tapi tentu bukan itu persoalannya.
Foto presiden dianggap simbol kehormatan negara.
Atau coba 'sajadah' itu diganti dengan kain motif merah putih, dan yang injak-injak macam FPI.
Sajadah adalah simbol penghambaan kami, ummat Islam, kepada Sang Khaliq. Tempat kami meletakkan kepala sebagai wujud ketundukan kepada-Nya. Kok seenaknya aja anda injak-injak dengan kaki anda?
Rumus toleransi dan kerukunan ummat beragama itu mudah, kok: JANGAN mancing-mancing mayoritas melulu.
Benar Menag sudah menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf...tapi sampai kapan?
Mau sampai kapan mancing-mancing emosi Umat Islam terus?
(Erwin Al-Fatih)